Tuesday, December 05, 2006

Apa & Siapa ITB

Hasan Poerbo

menggemari aeromodelling, sementara di saat remaja dia menyukai terbang layang. Toh saat mendaftar ke ITB, dia malah memilih masuk Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Bandung ( kini ITB).

Baginya, terbang layang melahirkan perasaan romantis tertentu.
"Sayalah orang Indonesia pertama yang menerbangkan pesawat layang, di Yogya pada 1947," tutur Hasan, yang pernah akrab dengan 2 tokoh penerbangan Indonesia; almarhum Abdurrachman Saleh dan almarhum Nurtanio.

Saat dia mengundurkan diri dari olahraga angkasa itu, dia sudah mengantungi 240 jam terbang. Kenapa mundur ? "Tidak diizinkan istri,"ucapnya.

Anak ke-7 dari 8 bersaudara putra mantan wedana itu merampungkan sekolah menengahnya di Yogya. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, Hasan bergabung dalam organisasi pelukis, sebelum membantu Jawatan Penerangan TNI-AU serta menjadi anggota Tentara Pelajar.

Master untuk bidang Civic Design didapatnya dari Universitas Liverpool, Inggris, 1961.
Dekan Fakultas Perencanaan & Seni Rupa ITB (1962-1964) ini belakangan lebih memusatkan perhatiannya pada bidang kajian pembangunan. "Saya menemukan interes baru,"kata Hasan yang menjadi Direktur Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB sejak lembaga itu berdiri, 1979.

Sejak 1982, PPLH juga meneliti para pemungut sampah di Bandung. Anggota Dewan Riset Nasional ini dinilai "melawan arus" oleh beberapa kalangan. Contohnya, ia menilai, kebijaksanaan pembangunan dewasa ini terlalu "deterministik" - "Semacam dari atas," ungkapnya. "Pembangunan kita cenderung supply-approach, bukan demand-approach.
Orang menganggap, asal sekian prasarana sudah dibangun, tanpa perlu mempertimbangkan aspek manusiawi dari para pengguna prasarana, sudah bisa menyelesaikan masalah,"ujarnya.

Di samping acap menulis di Kompas dan Prisma, Hasan Poerbo juga mengarang sejumlah karya tulis, sendiri atau bersama pengarang lain. Ia adalah Co-author Goodman untuk buku terbitan Pergamon Press 1977, Design & Construction of Low Cost Housing, An East West Perspective.

Menikah dengan Partini,1961, mempunyai 4 anak.

Tuesday, November 21, 2006

Kesan-kesan dari mantan mahasiswa AR ITB

Pak Hasan Poerbo saya kenal terutama lewat kuliah mengenai permukiman dan perkotaan di pertengahan tahun 80-an. Setiap kali menyaksikan beliau bicara di depan kelas, suasana hati seringkali terasa damai dan tenteram. Teori-teori dan contoh studi kasus yang disampaikan beliau selalu dikemas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Cerita mengalir bak sungai yang deras namun tidak menghanyutkan. Kadangkala malah terasa lamban, namun sesungguhnya sarat dengan muatan filsafat. Enak untuk dijelajahi dalam pikiran yang masih sedang belajar. Namun dibalik kedamaian dan kebersahajaan beliau, sayapun dapat merasakan sebuah keteguhan dan kekokohan pandangan beliau mengenai kota, perumahan dan permukiman, bagaimana sebuah lingkungan binaan seharusnya direncanakan,dikembangkan, dan dikelola.

Kisah yang masih melekat dalam kenangan saya adalah mengenai kesaksian beliau --pada salah satu kuliah--saat terlibat dalam sebuah tim yang akan mengubah kebijakan pembangunan di Jakarta. Perubahan arah orientasi pembangunan utara-selatan diubah menjadi timur-barat, diciptakan melalui goresan spidol. Beliau dengan nada geli mengatakan bahwa perencanaan kota telah dibuat dengan cara spidolisasi (!). Seingat saya beliau memang kurang sependapat dengan kemunculan para perencana kota (baca:planolog) yang tidak atau kurang memiliki dasar-dasar ilmu arsitektur.

Pada Pak Hasan Poerbo tentunya saya sangat berhutang budi. Kuliah-kuliah beliau yang bernuansa sosial, kerakyatan, keberpihakan pada yang kecil dan lemah, sangat mempengaruhi cara berpikir saya mengenai arsitektur dan perkotaan hingga saat ini.

Mahasiswa AR'81
08381069

note : terimakasih banyak atas kesan-kesannya, sangat mengharukan..

Friday, May 19, 2006

Mari membuat kompos skala rumah tangga

Salah satu dari pola hidup hijau yang dapat kita laksanakan adalah mengelola sampah organic rumah tangga, dengan membuatnya menjadi kompos.

Kompos adalah pupuk yang dibuat dari sampah organic organic.
Pembuatannya tidak terlalu rumit, tidak memerlukan tempat luas dan tidak memerlukan banyak peralatan dan biaya. Hanya memerlukan persiapan pendahuluan, sesudah itu kalau sudah rutin, tidak merepotkan bahkan selain mengurangi masalah pembuangan sampah, kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sendiri, tidak perlu membeli.

Kompos berguna untuk memperbaiki struktur tanah, zat makanan yang diperlukan tumbuhan akan tersedia. Mikroba yang ada dalam kompos akan membantu penyerapan zat makanan yang dibutuhkan tanaman. Tanah akan menjadi lebih gembur. Tanaman yang dipupuk dengan kompos akan tumbuh lebih baik. Hasilnya bunga-bunga berkembang, halaman menjadi asri dan teduh. Hawa menjadi segar karena oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan.

Bagaimana Kompos Terjadi

Sampah organic secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4 – 6 minggu sudah jadi. Apabila sampah organic ditimbun saja, baru berbulan-bulan kemudian menjadi kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas krn aktivitas mikroba. Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organic dan merubahnya menjadi kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 45-65C.Jika terlalu panas harus dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari.

Peralatan

Di dalam rumah ( ruang keluarga, kamar makan ) dan di depan dapur disediakan 2 tempat sampah yang berbeda warna untuk sampah organic dan sampah non-organic. Diperlukan bak plastic atau drum bekas untuk pembuatan kompos. Di bagian dasarnya diberi beberapa lubang untuk mengeluarkan kelebihan air. Untuk menjaga kelembaban bagian atas dapat ditutup dengan karung goni atau anyaman bambu. Dasar bak pengomposan dapat tanah atau paving block, sehingga kelebihan air dapat merembes ke bawah. Bak pengomposan tidak boleh kena air hujan, harus di bawah atap.

Cara Pengomposan

- Campur 1 bagian sampah hijau dan 1 bagian sampah coklat.
- Tambahkan 1 bagian kompos lama atau lapisan tanah atas (top soil) dan dicampur. Tanah atau kompos ini mengandung mikroba aktif yang akan bekerja mengolah sampah menjadi kompos. Jika ada kotoran ternak ( ayam atau sapi ) dapat pula dicampurkan .
- Pembuatan bisa sekaligus, atau selapis demi selapis misalnya setiap 2 hari ditambah sampah baru. Setiap 7 hari diaduk.
- Pengomposan selesai jika campuran menjadi kehitaman, dan tidak berbau sampah. Pada minggu ke-1 dan ke-2 mikroba mulai bekerja menguraikan membuat kompos, sehingga suhu menjadi sekitar 40C. Pada minggu ke-5 dan ke-6 suhu kembali normal, kompos sudah jadi.
- Jika perlu diayak untuk memisahkan bagian yang kasar. Kompos yang kasar bisa dicampurkan ke dalam bak pengomposan sebagai activator.

Keberhasilan pengomposan terletak pada bagaimana kita dapat mengendalikan suhu, kelembaban dan oksigen, agar mikroba dapat memperoleh lingkungan yang optimal untuk berkembang biak, ialah makanan cukup (bahan organic), kelembaban (30-50%) dan udara segar (oksigen) untuk dapat bernapas.
Sampah organic sebaiknya dicacah menjadi potongan kecil. Untuk mempercepat pengomposan, dapat ditambahkan bio-activator berupa larutan effective microorganism (EM) yang dapat dibeli di toko pertanian.

Penutup

Apabila setiap rumah tangga melakukan pemilahan sampahnya: yang organic dijadikan kompos, yang non-organik disedekahkan kepada pemulung, maka pemerintah tinggal mengelola sisanya yang 10% saja,yang tidak dapat didaur ulang. Alangkah senangnya pemulung, kalau penghuni rumah sudah memilah sampahnya, sehingga mereka tinggal mengambil kertas, plastic dsb. yang tidak dikotori sisa makanan, tanpa mengobrak-abrik bak sampah (maaf) berebutan dengan anjing dan kucing. Jam kerjanya akan lebih pendek, uang yang diperoleh akan lebih banyak.
Pembuatan kompos ini dapat pula dilakukan secara kolektif, apabila keadaan tidak memungkinkan. Misalnya perumahan padat penduduk, atau apartemen. Pengelolaannya dapat diserahkan kepada RW atau pihak swasta. Namun masing-masing rumah tangga tetap harus melakukan pemilahan sampahnya. Sehingga tidak perlu lagi ada TPA yang memerlukan tanah luas dan menimbulkan masalah pencemaran, bahaya longsor, pendangkalan sungai, penyakit dsb.

Marilah…..kita menjadi pelopor, penggerak keluarga dan masyarakat di sekitar kita.
Selain ikut memelihara lingkungan hidup, juga beribadah.
Mulailah dari yang kecil.
Mulailah dari diri sendiri.
Mulailah sekarang juga.

ajakan dari:
Djamaludin Suryohadikusumo
mantan mentri kehutanan RI

Sampah, tanggung jawab siapa ?

UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan : “Setiap manusia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan hak dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selanjutnya:”Setiap manusia berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.”

Sebagai wakil Allah SWT di bumi, kita mendapat titipan memelihara apa yang ada di bumi. Kita diberi Allah SWT makanan, pakaian, rumah, semuanya dari hasil bumi. Lalu apakah pantas kita kembalikan sebagai sampah dan racun yang merusak bumi?

Data dari berbagai Negara menunjukkan bahwa yang lebih banyak menjadi korban pencemaran lingkungan adalah perempuan dan anak2. Berbagai bahan kimia rumah tangga lebih banyak dihirup perempuan dan anak2 yang berada di rumah. Sedangkan gas beracun yang terkumpul pada ketinggian kurang dari 1 meter, lebih banyak dihirup anak-anak. Tidak terpeliharanya bumi, mengakibatkan jumlah penderita kanker, asma dan anak2 autis setiap tahun makin meningkat.

Karena kurangnya kesempatan mendapat informasi atau penyuluhan tentang pencemaran dan perusakan lingkungan, peranan perempuan masih belum telihat nyata. Perempuan bisa dan wajib berperan dalam melestarikan lingkungan hidup. Mulailah dari diri kita sendiri, lalu menularkan kepada keluarga dan lingkungan terdekat kita. Merubah pola hidup tidak mudah, akan tetapi harus kita mulai dari sekarang. Tentu kita tidak ingin anak-cucu kita beberapa tahun lagi menjadi generasi yang fisiknya lemah, intelegensianya rendah, karena menghirup udara tercemar atau makan makanan tercemar.
Anak-anak sejak usia dini perlu mendapat pendidikan lingkungan, agar memiliki pola hidup yang berwawasan lingkungan. Istilah sekarang adalah pola hidup hijau.

Pola hidup hijau adalah perilaku yang menganut kaidah 4R yaitu : Reduce ( mengurangi pemakaian), Reuse ( menggunakan kembali ), Recycle ( mendaur ulang ) dan Replant ( menanam kembali ).

Di rumah tangga, banyak kegiatan perempuan yang menghasilkan limbah. Setiap belanja, kita membawa pulang tas-tas “kresek”. Isinya pelbagai barang belanjaan dalam kemasan plastic atau kaleng. Ada makanan, detergen, pembersih, pewangi, setelah habis isinya menjadi sampah, yang disebut sampah anorganik.

Di dapur potongan sayuran, kulit buah, sisa makanan, adalah sampah organic rumah tangga sehari-hari yang selalu ada. Kalau tidak segera ditangani akan membusuk, menimbulkan bau dan mengundang lalat, semut, kecoa, tikus, kucing dll. Di halaman, daun-daun yang luruh, potongan tanaman, adalah sampah organic juga.

Komposisi sampah rumah tangga, yang terbanyak adalah sampah organic (60-70%), sampah non-organik yang masih dapat didaur ulang 20%. Sisanya sekitar 10% adalah sampah non-organik yang tidak dapat didaur ulang ( misalnya pampers, plastic Styrofoam) dan bahan berbahaya ( batere bekas dll).

Mengapa kita tidak merubah kebiasaan ‘membuang’ menjadi ‘mengelola’?

Mari membuat kompos skala rumah tangga

oleh :
Djamaludin Suryohadikusumo

Monday, May 15, 2006

Kesan2 dari eks mahasiswi AR ITB

Sesudah Bapak wafat pada tanggal 30 September 1999, ada banyak permintaan dari berbagai kalangan terutama dari keluarga besar Bapak untuk membuat buku kenangan untuk mengenang perjalanan dan perjuangan bapak semasa hidupnya.
Dan blog ini dibuat sebagai salah satu usaha untuk mengumpulkan materi untuk buku tersebut.

Salah satu kesan yang disampaikan oleh mantan mahasiswi bapak :

"Pak Hasan Purbo orangnya baik dan sederhana. Biasanya dosen arsitektur yang kadar ke"seni"annya agak tinggi punya kecenderungan nyentrik, kasar dan seenaknya sendiri, tapi beliau lain. Beliau santun, serius, halus dan sangat punya keinginan membantu anak didiknya. Yang jelas aku sangat berterimakasih karena beliau mau membuat surat pengantar yang amat baik waktu aku mau ambil master di AS sehingga aku diterima di sana (meski nilai S1 ku amburadul, kebanyakan main marching band, majalah Kampus, berenang, basket, PSIK dan lainnya sih..!). Aku diterima di Urban and Regional Planning di University of Iowa sebagai mahasiswa percobaan.

Dekannya mengatakan: "Nining because your undergraduate grade is not proper, but the letter of recomendation says that you are good, and you are already here, because your husband is a student at this university too, and your TOEFL and GRE score are good, ok then, you are accepted as a graduate student under one condition, if your grade at the first semester is low, then you have to quit! Deal?". Jawabku:"Yes, sir"

Karena ancaman itu dan kondisiku sebagai probation student, maka aku belajar setengah mati, dan pada semester 1 itu aku malah nilainya A semua sehingga aku malah dapat beasiswa dari pemerintah Federal AS (graduate tuition grant)

Pak Hasan Purbo mampu melihat dibalik yang amburadul dari mahasiswanya, ada potensi tersembunyi, dan ini adalah ciri khas pendidik yang baik, karena dia tidak menghakimi di satu moment saja, di satu potret statik saja. Beliau lebih mengutamakan proses. Semoga pak Hasan Purbo mendapat tempat di sisi Allah SWT yang baik, karena amalnya banyak.

Nining I Soesilo
AR'76

Ctt: Bila ada diantara pembaca yang juga memiliki kesan2 mengenai alm Bapak Hasan Poerbo, silakan mengisi comment, guest book atau mengirim email kepada kami. Terima kasih.

Friday, May 05, 2006

Lingkungan Binaan untuk Rakyat

Buku : gelar nalar Prof Hasan Poerbo


Buku Lingkungan Binaan untuk Rakyat ini adalah kumpulan pengamatan dan gagasan Prof. Hasan Poerbo tentang pembangunan dan pengelolaan lingkungan binaan, yang beliau tulis antara tahun 1983 - 1993.

Walaupun bidang keahlian yang beliau tekuni adalah lingkungan binaan, tetapi pengamatan beliau banyak tertuju pada manusia dan masyarakat lapisan bawah.
Sedang gagasan beliau banyak mengarah pada upaya mengangkat lapisan masyarakat ini agar lebih berdaya dan dapat berperanserta dalam pengembangan kehidupan bersama.

Diharapkan penggelaran nalar Prof. Hasan Poerbo ini menjadi inspirasi bagi para mahasiswa, pengajar, pakar, peneliti, birokrat maupun praktisi untuk menindak lanjutinya.

diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB (PPLH ITB)
bekerjasama dengan Yayasan Akatiga

penyunting :
Tjuk Kuswartojo

Friday, April 28, 2006

Applause Meriah di Yale University Bagi Para Pejuang Frekuensi Indonesia

Di hari minggu pagi 23 April 2006, saya memperoleh bagian untuk berbicara di planery session conference Access to Knowledge yang di selenggarakan oleh Yale Law School di Yale University Amerika Serikat. Konference ini fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan berbagai isu yang berkaitan dengan akses kepada pengetahuan bagi bangsa-bangsa di dunia yang di hadiri oleh peserta lebih dari 40 negara di dunia.

Sebetulnya topik yang di ajukan kepada saya adalah limitasi bagi access to knowledge, yang sebetulnya cukup sederhana di Indonesia, seperti, bahasa inggris, mahalnya infrastruktur, rakyat yang tidak kaya, dan peraturan yang terlalu ketat di tambah korupsi.

Tentu tidak akan menarik jika hanya membicarakan keterbatasan, oleh karena itu saya mengubah sedikit topik saya menjadi lebih fokus pada pengalaman mengatasi keterbatasan tersebut yang tentunya berbasis pada pengalaman di lapangan selama 12+ tahun perjuangan bahu membahu dengan bangsa Indonesia untuk memperoleh akses Internet yang murah, sambil mencuri frekuensi di 2.4GHz, 5.8GHz, melakukan VoIP dll. Perjuangan panjang yang memakan waktu lama, mengedukasi bangsa, mengajak anak-anak muda di Indonesia menulis buku, share knowledge, membangun berbagai komunitas di mailing list. Gilanya, semua harus di lakukan secara swadaya masyarakat tanpa utangan Bank Dunia, IMF dan tanpa dukungan pemerintah bahkan di bawah sergapan polisi. Tapi semua akhirnya membuahkan hasil dengan bebasnya frekuensi 2.4GHz di Indonesia sejak bulan January 2005 yang lalu.

Penyebaran pengetahuan menjadi kunci dalam proses perjuangan sayangnya sebagian besar pengetahuan yang ada dalam bahasa inggris. Seni mengkonversikan pengetahuan berbahasa Inggris menjadi buku-buku dan artikel dalam bahasa Indonesia secara swadaya masyarakat dengan cara mengajak anak-anak muda Indonesia menjadi penulis buku IT ternyata sangat unik tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh banyak negara di dunia.

Pendekatan rebelius untuk mengatasi limitasi akses ke pengetahuan tidak pernah terpikirkan oleh para peneliti, birokat, pakar yang sangat berbudaya yang hadir di konferensi tersebut.

Yang amat sangat mengagetkan dan tidak pernah saya rasakan sebelumnya selama umur hidup saya memberikan ceramah di berbagai tempat di dunia,keynote speech saya yang cukup rebelious mendapat sambutan yang amat sangat luar biasa. Tidak ada pembicara lain yang memperoleh sambutan sedemikian tinggi di Access to Knowledge Conference di Yale University.

Jian Yan Wang, dari Orbicom di Montreal Canada ternyata cukup iseng, katanya peserta sampai sekitar tiga (3) menit tidak berhenti bertepuk tangan untuk saya. Alhamdullillah, perjuangan yang selama ini dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk membangun sendiri & swadaya masyarakat Internet murah dengan cara-cara tidak legal mendapat sambutan yang amat sangat luar biasa di forum yang sangat prestigius di Yale University di Amerika Serikat.

Setelah saya turun dari podium amat sangat banyak sekali Professor dari banyak kampus di Amerika, Afrika, Eropa menyalami saya dan mengatakan "Yours is very inspirasional". Sampai-sampai beberapa rekan seperti Sarah Kerr dari BellaNet Canada menyebutnya sebagai ceramah terbaik di Conference Access to Knowledge di Yale Law School.

Yah, bagi mereka yang lebih banyak bergelut dengan teori, berargumentasi di kampus, tidak pernah terjun kelapangan memang akan tidak pernah terfikir berbagai trik, akal-akalan, dan kenikmatan yang akan di peroleh jika kita dapat secara nyata membangun masyarakat tanpa utangan Bank Dunia, IMF maupun bantuan pemerintah.

Akibatnya, saya langsung mendapatkan banyak tawaran untuk berangkat lagi ke berbagai negara untuk memberikan ceramah inspirasi ke Jerman (Berlin), Ghana, Belanda dll. rata-rata akan di adakan sekitar bulan Juni-September 2006 ini.

Beberapa yang mengundang saya antara lain adalah,
- Director General, Ghana-India Kofi Annan Centre of Excellence in ICT di Ghana
- International Institute for Communication and Development. Merupakan network NGO yang membangun wireless network dimana-mana.
- iRights (Urheberrechti In Der Digital Welt) dari Berlin
- BellaNet, terutama untuk berpartisipasi di event mereka di Asia Common yang akan melibatkan banyak rekan-rekan dari Asia.

Akhirnya, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan dan do'a yang diberikan rekan-rekan pejuang Internet di Indonesia selama ini.

Saya pribadi semakin yakin bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang bodoh, apa yang kita bangun bersama oleh para pejuang IT Indonesia ternyata membuahkan contoh nyata yang luar biasa bagi banyak bangsa lain di dunia. Tidak ada bangsa yang di dunia yang mampu membangun Internet murah seperti Indonesia. Mereka banyak ingin mencontoh apa yang kita lakukan di Indonesia.

Semoga para birokrat, politikus dan mereka yang menamakan dirinya pemimpin bangsa ini menyadari kemampuan anak bangsa. Walaupun kenyataannya kiprah anak bangsa tidak tergantung sama sekali pada para birokrat maupun politikus.

Onno @ Yale University
23 April 2006

p.s: Onno putra sulung Bpk Hasan Poerbo (alm)

Saturday, April 08, 2006

Hidup dari sampah, belajar dari Prof Hasan Poerbo

ditulis oleh :
Emil Salim
Mantan Mentri Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Harian Kompas, 23 Juni 2005


Tenggorokan terasa masih tersumbat bila terkenang masyarakat Leuwigajah dan Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, meninggal akibat longsoran tumpukan sampah hasil penimbunan terbuka (open dumping).

Ingatan melayang ke 1980-an, saat Imelda Marcos, Mentri Lingkungan Hidup merangkap Gubernur Metropolitan Manila, dikecam keras karena membiarkan sampah menumpuk melalui sistem "penimbunan terbuka", lalu longsor memakan ribuan jiwa penduduk miskin.

***
Bencana Manila menjadi peringatan bagi pemerintah kota untuk menghapus sistem penimbunan terbuka. Untuk mengganti penimbunan, Prof Hasan Poerbo, Pemimpin Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung (PSLH ITB), mengembangkan gagasan "mendaur ulang sampah berbasis masyarakat".

Setiap kota besar pasti menghasilkan sampah dan memiliki pemulung miskin yang menggantungkan nafkahnya pada usaha mendaur ulang sampah. Hasan Poerbo, pencinta lingkungan, berempati pada rakyat miskin. Karena itu, lahir gagasan memadukan pengelolaan sampah dan melibatkan pemulung guna meningkatkan pendapatan mereka dalam konsep "hidup dari sampah".

Prinsip pertama konsep ini adalah memberdayakan pemulung sebagai ujung tombak usaha daur ulang sampah untuk dijual ke pelapak yang memilah sampah menurut kegunaannya. Sampah terpilah dijual ke bandar yang mengolahnya menjadi biji pelet sebagai bahan baku pembuatan alat rumah tangga dan mainan anak2.
Pada tahun 1980-an, Pasar Rumput menjadi outlet barang-barang plastik buatan industri rumah kawasan Manggarai dari bahan baku plastik asal sampah. Piring, gelas, botol kecap, dan tempat sambal di warung dan penjual makanan kereta dorong banyak terbuat dari bahan baku plastik asal daur ulang sampah.
Ketika memberdayakan para pemulung mengelola sampah, terungkap kesulitan hubungan pemulung dengan penguasa dan pejabat lokal. Banyak pemulung tidak memiliki "kartu tanda penduduk (KTP)" sehingga dianggap bukan penduduk sah dan perlu diusir ke luar kota oleh aparat pemerintah kota dan polisi. Tanpa KTP mereka menjadi non-person, tanpa hak legal untuk memiliki tempat hunian sah bebas dari penggusuran. Sebagai non-person mereka juga tidak bisa menikah secara resmi di kantor agama.Menyadari hal ini, Hasan Poerbo dkk. PSLH ITB membangun tempat hunian dengan lingkungan bersih sebagai domisili pemulung di Kampung Jati Dua, Kotamadya Bandung. Dengan alamat yang menetap diurus KTP pemulung. Dengan kartu ini, resmilah mereka menjadi warga Kota Bandung dan terbuka kemungkinan mengurus perkawinan resmi mereka. Sebanyak 100 pasang menikah secara bersamaan di hadapan penghulu kantor agama disaksikan Menteri Lingkungan Hidup, Walikota Bandung, dan Rektor ITB dalam acara yang murah meriah.Hubungan antara pemulung dan PSLH terjalin erat dalam kerjasama efektif menanggulangi sampah kotamadya Bandung. Walikota Bandung Ateng Wahyudi mendukung sepenuhnya usaha ini sehingga Bandung berhasil meraih Adipura Kota Terbersih di tahun 1980-an.

Prinsip kedua, menanggulangi sampah selagi volumenya masih kecil di tingkat RT/RW atau kelurahan. Sampah, seperti api, selagi volumenya kecil, lebih mudah dikelola ketimbang menjadi besar sulit dikendalikan dan membawa bencana. Sampah terdiri dari bahan organis yang bisa diolah menjadi pupuk kompos dan bahan anorganis yang bisa didaur ulang para pemulung. Pengelolaan sampah lebih mudah saat volumenya masih kecil.

Ini membawa kita pada prinsip ketiga menanggulangi sampah dengan pendekatan "dari bawah" dalam merencanakan, melaksanakan, kontrol, dan evaluasi dengan semangat partisipatif merangsang masyarakat berperan serta secara aktif.

Adalah rumah tangga sendiri yang menghasilkan sampah dan kelak menderita jika sampah menumpuk busuk dan mengganggu kesehatan warga. Tetapi lebih dari ini, sampah bisa jadi uang bila dikelola dengan baik.

Prinsip keempat, memberi penghargaan dan pengakuan atas jerih payah anggota masyarakat yang terbukti berhasil mengelola sampah. Dinas-dinas pemerintahan tidak perlu mengerjakan pengelolaan sampah sendiri atau "memproyekkannya" pada swasta atas dasar komersial murni tanpa lebih dulu menjajaki kesediaan masyarakat untuk mengelolanya bersama swasta dan pemerintah. Tugas birokrat seyogianya menggunakan retribusi sampah untuk menciptakan iklim agar penanggulangan sampah menjadi gerakan masyarakat dengan kesadaran. Tunbuhnya kesadaran inilan yang sepatutnya pemerintah rangsang, kembangkan dan hargai.

Prinsip kelima mengembangkan sanitary landfill, menimbun sampah di tanah yang berlekuk untuk ditutup dengan lapisan tanah. Ini dilakukan secara berulang dan membentuk "kue lapis" terdiri atas penimbunan sampah yang ditutup tanah. Tanah yang semula berlekuk menjadi rata oleh sanitary landfill shg harganya naik berlipat kali krn bisa dipakai untuk berbagai keperluan, seperti olahraga dan taman hijau. Pengelolaan sampah pun tumbuh menjadi "sentra keuntungan". Yang penting harus dijaga agar sampah tidak merusak lingkungan, merembes dan mencemari air tanah.


***

Sebuah film dokumenter berjudul Hidup dari sampah telah merekam usaha pengelolaan sampah oleh PSLH ITB. Pada tahun 1980-an, pola pendekatan pengelolaan sampah serupa itu berkembang di berbagai kota. Maka tercatat Linus Simanjuntak, Direktur Kebun Binatang Ragunan, berhasil menerapkan pola PSLH ITB mengelola sampah menjadi pupuk kompos di kebun binatangnya. Leuwigajah menjadi proyek percontohan Kabupaten Bandung untuk pembuatan pupuk kompos dari sampah dan pengembangan sanitary landfill.

Proyek percontohan serupa juga dikembangkan di Surabaya, yang merebut Adipura Kota Terbersih. Central Policy and Implementation Studies Jakarta, dipimpin pelaksana proyek Darwina (kini mempimpin Yayasan Pembangunan Berkelanjutan) mengembangkan pengelolaan sampah untuk Bumi Serpong. Yayasan Dian Desa Yogjakarta dipimpin Anton Soedjarwo mengembangkan proyek pengomposan sampah untuk Kabupaten Bantul.

Dalam melaksanakan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), di bawah pimpinan Ibu Munadi dan Ibu Soepardjo Roestam, melibatkan ibu-ibu di RT,RW, dan kelurahan di seluruh Tanah Air ikut mengelola kebersihan lingkungan.Salah satu ibu yang menonjol adalah Ibu Harini, pemimpin PKK RW Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, dan pemimpin posyandu, yang melatih dan mendorong mahasiswa dan anggota berbagai kelompok masyarakat madani aktif mengelola sampah berbasis masyarakat. Ibu Harini juga memelopori pengembangan "tanaman obat keluarga" di halaman rumah kawasan RW Banjarsari.

Gubernur Jambi Sofwan Maskun saat lalu juga aktif mendorong kebersihan kota dan daerah Jambi. Tiap rumah dan pengusaha bertanggungjawab memelihara kebersihan emperan rumah atau bangunan masing-masing. Penduduk Ubud, Bali, lebih maju dengan mengolah limbah menjadi bio gas energi untuk memasakdan penerangan rumah.

Masih banyak contoh yang bisa dikutip untuk menunjukkan kesediaan masyarakat aktif berperan serta mengelola sampah, memelihara keasrian lingkungan hidup. Penting menjadikan program pengelolaan sampah dengan 5 prinsip suatu gerakan masyarakat. Prinsip-prinsip ini bisa diperluas dengan mengelola dengan mengelola limbah sanitasi jamban keluarga.

Namun perlu diingat, tiap usaha lingkungan merupakan perjuangan jangka panjang yang memerlukan mentalitas pelari maraton, tahan napas, dan tidak bosanan untuk waktu lama. Sasaran jangka panjang harus tetap dipegang dan program jangan senantiasa ganti haluan dengan perubahan pimpinan. Maintenance of objective adalah pegangan menajemen utama.Dalam memperjuangkan sasaran lingkungan, penting memberi inspirasi pada konstituen pendukung gerakan ini. Dalam memimpin gerakan lingkungan, apalagi di bidang 'kotor' seperti pengelolaan sampah, usaha ini tidak cukup dilaksanakan dengan rasio tetapi harus diikuti komitmen.

Profesor Hasan Poerbo telah tiada. Namun, semangat beliau menanggulangi sampah dan kemiskinan tetap menyala tinggi di balik cita-cita luhur "hidup dari sampah", membangun kegunaan dari barang terbuang.