Friday, April 07, 2006

Mengenang Prof Ir Hasan Poerbo, MCD

"Pengelompokan industri pariwisata, hampir selalu disertai kesulitan dalam hal pengendalian pembangunan. Dan pada akhirnya, justru menurunkan kualitas objek wisata dan lingkungannya," tandas Prof.Ir. Hasan Poerbo,MCD., memberikan 'peringatan' akan kemungkinan bahaya penumpukan kegiatan wisata, dalam suatu diskusi, di Bandung, lebih 10 tahun lalu.

Pakar arsitektur yang concern terhadap industri pariwisata nasional, ketika itu, September 1988, mengatakan, "Secara kuantitatif pembangunan fisik sepanjang jalur Bogor-Puncak-Cianjur, Pangandaran, Kuta, Sanur dan pusat wisata lain menunjukkan kemajuan pesat." Namun, tukas Prof.Hasan Poerbo, intensnya kegiatan fisik juga diikuti penurunan kualitas lingkungan, kuantitatif maupun kualitatif.
Kendala yang dianggapnya bakal menonjol, adalah kesulitan mengendalikan tataruang, terdesaknya kepentingan umum oleh kepentingan perorangan dan kelemahan mekanisme untuk menyelesaikan kelompok kepentingan yang saling bertentangan.

Apa yang sejak lama dirisaukan Hasan Poerbo terbukti menjadi kenyataan. Bahkan, hingga akhir hayatnya dan entah sampai kapan. Guru besar arsitektur kelahiran Salam, Magelang, Jawa Tengah itu meninggal dalam usia 73 tahun pada 30 September 1999 lalu di Bandung, setelah beberapa hari sempat dirawat di rumah sakit. Almarhum- meninggalkan seorang istri dan 4 putra-putri serta beberapa cucu-menorehkan kenangan dan semangat, tidak saja kepada civitas akademika jurusan arsitektur di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta terkemuka, namun juga organisasi profesi, seperti Ikatan Arsitek Indonesia [IAI], semangat dan kegigihan Hasan Poerbo, terlihat tatkala musyawarah daerah IAI Jawa Barat di salah satu hotel berbintang di pusat kota Bandung beberapa bulan silam. Konstruksi memergoki sesepuh IAI itu menyempatkan diri melihat suasana musda, kendati dalam kondisi fisik lemah dan harus menggunakan kereta dorong. Untuk berbicara dengan peserta musda saja, Hasan Poerbo terpaksa menggunakan 'perantara'," yakni sang istri Ny.Partini, lantaran suaranya yang makin melemah.

Banjir yang senantiasa menggenangi Jakarta hampir setiap tahun, akibat pembangunan yang jor-joran dan nyaris tak terkendali sepanjang koridor Bopuncur alias Bogor, Puncak dan Cianjur hingga kini, merupakan salah satu masalah terkonsentrasinya kegiatan pembangunan di kawasan wisata berhawa sejuk itu.

Sejumlah persoalan lain, mungkin bakal timbul, seperti krisis air, isu sosial sehubungan makin terpinggirnya masyarakat setempat dan lain-lain, yang sesungguhnya sudah sejak lama didengungkan Hasan Poerbo.

Menurutnya, interpretasi arsitektur terhadap masalah kepariwisataan, juga masih perlu dijabarkan lebih menyeluruh. Ditegaskan, arsitektur bukan semata mendesain bangunan per bangunan, tetapi menyangkut konsep lingkungan menyeluruh, termasuk pengembangan masyarakat dan kelembagaan. Sehingga, masyarakat setempat dimungkinkan memiliki kemampuan dalam pemecahan masalah dan dampak pembangunan secara lebih baik.

Diakui Hasan Poerbo, 'konsep ideal' itu bukanlah pekerjaan mudah, karena agak berbeda dengan apa yang dipelajari di sekolah arsitektur. Di sisi lain, masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, terlalu sulit menjangkau jasa arsitek, untuk membantunya mewujudkan bangunan miliknya.
Dalam kondisi demikian, arsitek dapat berperan sebagai motivator dan katalisator, untuk selanjutnya melibatkan masyarakat secara total mengembangkan kemampuan masyarakat sendiri. Yakni, dengan mengorganisir diri sedemikian, dalam mengelola sumber daya setempat.

Tak bisa masuk

Menyinggung kondisi daerah wisata, yang kemudian menjadi 'berantakan' katanya, sebagian juga disebabkan tidak atau belum tersedianya infrastruktur sosial dan ekonomi, yang memungkinkan arsitek bisa masuk. Ia memberi contoh Tangkuban Perahu, obyek wisata pegunungan di Utara Bandung, yang menurutnya akan lebih baik secara arsitektural, jika sejak awal arsitek dilibatkan dalam perencanaan bentuk warung pagar, tempat menikmati pemandangan, papan penunjuk dan lain-lain.
"Namun, yang menjadi masalah, seolah ada suatu citra : Jika arsitek masuk, kemudian akan menjadi mahal. Di samping itu, siapa yang akan memberikan fee arsitek?", kata Hasan Poerbo seolah menjawab 'pertanyaan' sendiri.

Ia menjelaskan, soal fee arsitek sebenarnya bisa saja diupayakan lewat lembaga pengembangan swadaya masyarakat, yang antara lain didapat dari bantuan luar negeri. "Cobalah melihat kemungkinan mendapatkan bantuan dari luar negeri, melalui lembaga profesional, membantu masyarakat mampu mengembangkan diri,"saran Hasan Poerbo suatu ketika dalam perbincangan dengan Konstruksi.

Ia juga menekankan, seorang arsitek tidak bisa tidak, harus memiliki kepekaan. Tanpa kepekaan, pemecahan yang dihasilkan akan tidak memiliki vitalitas. Dan kepekaan bisa diperoleh manakala si arsitek sudah memiliki kematangan dan kecintaan terhadap apa yang digelutinya. Bagi orang yang bekerja dengan dedikasi, kata Hasan Poerbo, soal imbalan bukanlah suatu harga mati, bahkan jika harus merugi sekalipun. Dedikasi seorang arsitek, katanya, merupakan kebanggaan, karena ia telah memberikan pelayanan kepada masyarakat, sekaligus membuka kunci keatifitasnya.
"Ia [arsitek] adalah orang yang menarik garis, apakah suatu proyek ada kaitannya dengan masyarakat setempat atau tidak,"tandas Hasan Poerbo memberi gambaran, seraya menambahkan, jika arsitek menentukan dalam spesifikasi suatu proyek menggunakan lebih banyak material impor, sumbangan masyarakat sekitar dalam proyek pembangunan, otomatis akan mengecil. Karenanya, demikian master regional and country planning dari University of Liverpool [Inggris], masyarakat setempat hendaknya bukan saja dilibatkan hanya sebagai tukang, namun perlu dimanfaatkan potensinya sebagai pengrajin, manajer dan posisi lain. Tentunya, yang memungkinkan baginya untuk mengembangkan diri.
Termasuk, bagaimana arsitek dapat memerankan diri sebagai tenaga profesional yang diterima masyarakat sebagai penasihatnya, sehingga keahliannya menjadi efektif bagi masyarakat banyak.

Perencanaan partisipatif

Pergelutan yang intensif terhadap masalah kemasyarakatan, membuatnya memiliki visi sendiri mengenai permasalahan para arsitek Indonesia, yakni bagaimana membuat dirinya sendiri menjadi efektif dalam pelayanan sosial. "Selama ini, arsitek dididik dan berpraktek dalam suatu sistem sedemikian rupa,sehingga hanya efektif jika ada pemberi tugas, dan menempatkan dirinya sentral dalam proses perencanaan maupun pembangunan,"ujar Hasan Poerbo suatu saat.

Seolah sejalan dengan gelar yang disandangnya, master of civic design, Hasan Poerbo sangat tertarik dengan hal-hal bagaimana agar seorang arsitek bisa melibatkan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan wilayah melalui proses perencanaan partisipatif [partisipatif planning and design]. Seorang arsitek profesional, katanya, seyogyianya memiliki kemampuan dalam mendampingi masyarakat, sehingga bisa berkembang menjadi suatu client-system.

Melalui hubungan sistem nasabah, arsitek dimungkinkan memberikan pelayanan profesional secara lebih efektif, tatkala melibatkan diri dalam pemecahan masalah pembangunan.
Mantan Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup [PSLH] ITB itu lebih lanjut menuturkan, sistem tsb pernah diterpakan beberapa arsitek, lalu 'menghubungkan' masyarakat yang sudah menjadi client-system dengan bank. Alhasil, si nasabah arsitek bisa melakukan inventasi besar-besaran.
Salah seorang sarjana arsitektur angkatan pertama di Indonesia, menjelaskan konsep client-system, yang menurutnya tak begitu rumit. Intinya, kata Hasan Poerbo, adalah bagaimana membina masyarakat untuk mengembangkan diri, dalam wujud asosiasi atau koperasi yang berbadan hukum. Selanjutnya masyarakat didampingi untuk memperoleh tanah atau kredit dari bank. Sistem serupa, menurutnya, sudah sejak lama diterapkan di negara maju, seperti Amerika Serikat.

Kepedulian Hasan Poerbo terhadap lingkungan hidup masyarakat marginal, ditunjukkan antara lain dalam penanggulangan masalah sampah dengan sistem daur ulang. Metode daur ulang yang dimotori PSLH dan sudah diterapkan di Bandung, ternyata cukup berhasil, dimana lembaga dipimpinnya langsung terjun sebagai pendamping pemungut sampah.

Kegiatan lain yang sempat dilakukan, adalah melakukan pengkajian mengenai pembangunan desa terpadu di Ciamis, Jawa Barat, bertumpu kepada kemampuan swadaya masyarakat [community-based development]. Jika sebelumnya pembangunan hanya melulu melihat masalah pertanahan, PSLH kala itu, sudah menyentuh soal pemukiman, seperti perbaikan kampung dan rumah. Dan konsep tersebut terbukti dapat diwujudkan tanpa memerlukan banyak biaya, yang juga bersumber dari swadaya masyarakat.
Sekilas mengenang kegigihan almarhum Hasan Poerbo membela kepentingan masyarakat, merupakan teladan bagi generasi sekarang dan mendatang.

Alexander Purba
Majalah Konstruksi Oktober-Nopember 1999

1 Comments:

At 6/3/07 5:01 PM, Anonymous Anonymous said...

Excellent, love it! » » »

 

Post a Comment

<< Home